Friday 2 March 2012

Penyakit Kusta dan Permasalahnnya

Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya, bukan medis saja namun juga masalah social ekonomi serta psikososial. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. Masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan social ekonomi pada masyarakat. Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Penderita kusta tidak teratur berobat karena mereka merasa malu dengan penyakit yang diderita (Marhaento Budi, P.F_ dkk , 2002). Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit ini mempunyai kedudukan yang khusus diantara penyakit penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial. Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seleruh lapisan masalah masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit kusta. Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut dan menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat. Sejarah Kusta, penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Penyebab Kusta, penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organism patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, Mycrobakterium leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenisgranuloma infeksion Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut, Namun dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu: 1.Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia. 2.Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak. 3.Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. 4.Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit. 5.Alis rambut rontok. 6.Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa). Sampai saat ini penyakit kusta masih ditakuti oleh sebagian besar masyarakat. Keadaan ini terjadi karena pengetahuan yang kurang, pengertian yang salah, dan kepercayaan yang keliru tentang penyakit kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya. Padahal, berkat kemajuan teknologi pengobatan dengan Multi Drug Treatment (MDT) dan pemanfaatan teknologi komunikasi mutakhir, seharusnya penyakit kusta sudah dapat diatasi dan tidak menjadi masalah kesehatan lagi. Namun, karena permasalahan penyakit kusta sangat kompleks, maka pemberantasan penyakit kusta tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh Kementerian Kesehatan tanpa bermitra dengan berbagai program dan sektor, baik dalam upaya pemberantasan, rehabilitasi medis, maupun rehabilitasi sosial/ekonomi. Oleh karena itu, perlu dukungan dan kerjasama dari seluruh lintas sektor terkait dalam pemberantasan kusta di Tanah Air. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan strategi global untuk terus berupaya menurunkan beban penyakit kusta dalam: ”Enhanced global strategy for futher reducing the disease burden due to leprosy 2011 – 2015”; dimana target yang ditentukan adalah penurunan sebesar 35% angka cacat kusta pada akhir tahun 2015 berdasarkan data tahun 2010. Dengan demikian, tahun 2010 merupakan tonggak penentuan pencapaian target tersebut. Penetapan Hari Kusta (Leprosy Day) diperjuangkan oleh seorang wartawan Perancis bernama Raoul Fallereau. Selama 30 tahun Raoul Fallereau mengabdikan dirinya untuk memperjuangkan nasib penderita kusta dan untuk menghilangkan stigma sosial di masyarakat. Pada tahun 1955, terdapat 150 radio dari 60 negara yang menyiarkan kampanye pemberantasan penyakit kusta. Peristiwa ini terjadi pada hari Minggu terakhir bulan Desember 1955. Sejak itu di Eropa, Hari Kusta Sedunia (World Leprosy Day) ditetapkan hari Minggu terakhir Desember. Sedangkan di negara-negara Asia, untuk mengenang jasa-jasa Mahatma Gandhi, yang sangat menaruh perhatian dan besar jasanya kepada penderita kusta, Hari Kusta Sedunia ditetapkan pada Minggu terakhir Januari, untuk memperingati terbunuhnya Mahatma Gandhi. Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir diseluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata. Suatu kenyataan, di Indonesia bagian Timur terdapat angka kesakitan kusta yang lebih tinggi. Penderita kusta 90% tinggal diantara keluarga mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal dirumah sakit kusta, koloni penampungan atau perkampungan kusta. Prevalensi kusta di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun. Tahun 1986 ditemukan 7,6 per 10.000 penduduk menjadi 5,9 per 10.000 penduduk. Pada tahun 1994 terjadi lagi penurunan menjadi 2,2 per 10.000 penduduk dan menjadi 1,39 per 10.000 penduduk pada tahun 1997.Penurunan prevalensi penyakit kusta ini karena kemajuan di bidang teknologi promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta (Hismawi, 2001). Penyebaran sejumlah penyakit tropis, seperti malaria, kusta atau lepra, dan filariasis atau kaki gajah, hingga kini tidak teratasi. Penyakit kaki gajah, misalnya, pada tahun 2000 berjumlah 4.472 penderita, tahun 2005 berdasarkan data Departemen Kesehatan melonjak menjadi 10.239 penderita. Masalah-masalah yang ditimbulkan akibat penyakit kusta, seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami trauma psikis. Sebagai akibat dari trauma psikis ini, si penderita antara lain sebagai berikut : a.Dengan segera mencari pertolongan pengobatan. b.Mengulur-ulur waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia atau keluarganya menderita penyakit kusta. c.Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya, termasuk keluarganya. d.Oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat masa bodoh terhadap penyakitnya. Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas timbullah berbagai masalah antara lain: 1.Masalah terhadap diri penderita kusta. Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri, merasa tekan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang wajar. Segan berobat karena malu, apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga beban bagi orang lain (jadi pengemis, gelandangan dsb). 2.Masalah Terhadap Keluarga. Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun dan pengobatan tradisional, keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarat disekitarnya, berusaha menyembunyikan penderita agar tidak diketahui masyarakat disekitarnya, dan mengasingkan penderita dari keluarga karena takut ketularan. 3.Masalah Terhadap Masyarakat. Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Sebagai akibat kurangnya pengetahuan/informasi tentang penyakit kusta, maka penderita sulit untuk diterima di tengah-terigah masyarakat, masyarakat menjauhi keluarga dari perideita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan. Dien
Location: Yogyakarta, Indonesia

1 comment:

  1. thanks mas informasinya..
    wah jadi tambah wawasan nih saya ,stelah baca sana sini termasuk disini http://www.tanyadok.com/kesehatan/kusta-apakah-bisa-disembuhkan ..
    sips
    terima kasih sudah sharing dan berbagai informasi

    ReplyDelete